Bikin film layar lebar, jelas sulit. Sisi bisnis, jalan cerita harus menarik sehingga menarik penonton, juga harus ada bintang film yang bisa menjadi daya tarik. Bagaimana kalau membuat film tanpa didasari itu semua? Itulah misi “gila” yang dilakukan anak-anak muda Kukar yang bekerja sama dengan Bochlamp, salahsatu manajemen pembuat film indie dari Jakarta.
Judul filmnya ‘Menunggu di Ufuk Mahakam’. Bergenre cinta, film ini diwanai tiga tokoh utama. Yakni Aira (pemeran utama wanita), Arga (pemeran utama lelaki) dan David (pemeran utama lelaki antagonis). Ceritanya sederhana, Arga dan Aira saling mencintai, tapi karena Aira telah dijodohkan dengan David, konflik pun dimulai.
David pun bisa mempertahankan status tunangan Aira hingga hari pernikahan. Hanya saja Aira yang tak mau memilih untuk terus menunggu Arga. Karena di hari pernikahan Aira, Arga tak datang. Aira yang depresi lalu terjun ke Sungai Mahakam dari Jembatan Kartanegara Tenggarong. berakhir sedih? Tidak, Aira ternyata berhasil diselamatkan dan akhirnya bisa bersanding dengan Arga.
Itulah sinopsis singkat dari cerita tersebut. Cerita film berdurasi 60 menit ini bertema sederhana, bahkan cenderung beredukasi negatif karena ada adegan bunuh diri. Audisi untuk pemeran utamanya pun dilakukan di 7 kota di Kaltim.
Artinya, 99 persen yang terlibat dalam pembuatan film ini adalah orang asli Kaltim. Satu persen yang bukan asli Kaltim hanyalah sutradara, yakni Paksianom Nyang’oen, sutradara muda yang sukses menggarap film Rumah Pondok Indah yang penjualan tiketnya mencapai 4 juta tiket. Bahkan, kru mulai dari cameramen, lighting, dan lainnya, berasal dari anak-anak lulusan SMA 3 Tenggarong yang memang aktif dalam belajar membuat film indie.
Namun, semangat mereka untuk maju sangat tinggi. Mereka mengusung slogan from zero to hero mengejar film selesai pada Agustus nanti.
“Total ada 40 kru, itu belum termasuk para pemain yang semuanya berasal dari Kaltim. Target penjualan kami adalah 500 ribu keping DVD. Kami yakin ini bisa tercapai,” kata Paksianom, sutradara warga negara Indonesia (WNI) yang ‘terpaksa’ lahir di Thailand karena saat melahirkan ibunya ikut ayahnya bertugas menjadi tentara perdamaian Indonesia di sana 1973 silam.
Dengan segala keterbatasan itu, Paksianom masih yakin film ini bisa menjadi film pendongkrak di Kukar.
“Adegan bunuh diri itu bukan berarti kami memberikan ajaran yang keliru. Hanya saja, kami ingin mengambil sisi nyata manusia, yang depresi dan bisa melakukan sesuatu hal di luar kendali. Adegannya pun diambil di Jembatan Tenggarong,” katanya.Ya, 90 persen scene film ini memang diambil di Kukar. Bahkan, ada adegan action dimana Arga dan David berkelahi dari Jembatan Tenggarong, lanjut ke Pasar Tangga Arung dan kembali ke Jembatan Tenggarong.
“Jad nanti aksi itu akan menimbulkan kemacetan,tokohnya nyaris ditabrak mobil dan motor, lalu ke pasar yang membuat kericuhan dan barang berserakan. Secara nyata, itu tak mungkin karena jarak jembatan dan pasar sangat jauh, tapi karena ini film untuk nasional, maka diambli triknya. Yang jelas, ini ada actionnya yang kami buat ramai,” katanya.
Apa budaya Kukar juga diangkat, Paksianom mengangguk. Dia menyebut, budaya sosial Kukar akan diangkat, seperti beberapa bahasa khas Kutai yang mirip melayu.
“Yang jelas, tidak terlalu detail agar orang lain bisa menikmati. Karena budaya Kutai itu sangat detail,” katanya.
Untuk soundtrack-nya, juga digarap oleh band-band lokal Kaltim. Urusan pembuatannya diolah oleh Arief Budi Prabowo, manajer band Cat de Villa, grup band Kaltim yang sudah go nasional.
“Kami akan buat 6 soundtrack, rencananya ada 5 band yang direkrut dari Kaltim. Mereka juga akan dibuatkan RBT (ring back tone, Red.),” katanya.
Ya, tak hanya menjual film, musikalitas dari film ini juga dijadikan dagangan utama. Tapi, sekali lagi ini memang masih misi sulit, bahkan cenderung ‘gila’. Ini bisa terlihat dari besar dana pembuatan yang masih di bawah Rp 500 juta, jumlah yang sangat kecil bagi pembuatan film layar lebar. Apalagi, berbagai pihak di Kukar masih apatis dengan gebrakan anak-anak muda di Kukar ini, sehingga tak ada dukungan moril maupun dana untuk mereka. Pasalnya, dulu sempat dibuat film di Kukar, namun hasilnya gagal total. Padahal saat itu didatangkan bintang film seperti Gary Iskak dan lainnya.
“Kami sempat mendatangi Dinas Pariwisata, tapi oleh portirnya kami langsung disuruh pergi, bahkan tanpa memalingkan muka untuk melihat kami. Yah, biar saja, ini demi Kukar juga. Semoga film ini sukses dan bisa membuat Kukar menjadi daerah tujuan wisata film. Kenapa tidak? Kukar punya potensi wisata,” jelas Paksianom. (chrisna)